Kebahagiaan, hidup bahagia ? Diukur dari apa ?

18.30 Viana Dew 1 Comments

Bahagia, bahagia dan bahagia.
apa yang ada dalam pikiran kita tentang bahagia kawan?
pasti kita menyebut bahagia selalu identik dengan suka, senang, tertawa dan "guyonan". Terus juga kita pasti mengukur bahagia berdasarkan jumlah materi. Biasanya orang yang kaya pasti hidupnya bahagia dan nggak ada duka sedihnya. Orang yang miskin pasti susah hidupnya. Kalau hidupnya saja sudah susah, bagaimana mau bahagia ?????

ahhhh yakin itu ?
may be yes, may be no. Si Trisno itu pekerjaan sehari-harinya tidak tetap, kadang nguli, kadang nyopir, kadang malah nggak kerja. Tapi tetap saja nggak  ada keluhan darinya tentang hidup seperti itu. Bahkan seringnya cekungan senyum terus terhampar di pipi. Sampai tak tanya, situ bahagia ya ? iya aku bahagia.

Nah beda lagi sama si Arya. Rumahnya gedongan, punya mobil mewah, tiap bulan berjuta-juta uang masuk ke tabungan. Tapi seringnya dia murung. Jarang sekali di rumah, Terkadang terlihat sedih dan mengeluh. padahal kalau dipikir-pikir dia kaya raya, mau beli apa saja bisa. tapi kenapa nggak  bahagia ??

Peristiwa-peristiwa seperti ini pasti sering kita jumpai. Sampai-sampai saya sendiri bertanya-tanya, apa yang salah dari kaya dan miskin terhadap kebahagiaan ? apakah kebahagiaan itu memilih mau bersama dengan orang yang itu dan nggak mau dengan orang ini? ahhh tapi rasanya bukan itu jawabannya.

Pertanyaan-pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala saya sampai suatu hari saya membaca buku dari penulis yang sudah sangat pengalaman merasakan pahit, asem, asin, manisnya hidup yakni Cak Nun. Salah satu topik yang dibicarakan dalam buku itu berjudul "berapa harga kebahagiaan". Ketika membaca judul itu saya sempat berfikir, apa ini jawaban pertanyaan-pertanyaan di kepala? mulai deh saya baca kata per kata, kalimat per kalimat sampai paragraf per paragraf. Nah ini jawabannya :

"Bahagia itu tidak sama dengan enak, sedap dan nyaman. Enak, sedap dan nyaman itu relatif dan semuanya itu memiliki pasangan lawan kata sendiri-sendiri. Ketiganya bersifat temporal, situasional. Sedangkan bahagia itu abadi, kuat perkasa, dan tak bisa diubah. Sebab bahagia bergantung pada sikap batin, bergantung pada cara seseorang mengolah mentalnya dalam menghadapi kehidupan. 

Cara mengukur bahagia sendiri itu dengan cinta.  Cinta kualitasnya sejajar dengan bahagia, ruh dan diri. Dalam kebahagiaan tidak ada konflik, yang ada hanyalah cinta. Contohnya saja, anda tidak senang pada kelakuan suami anda tapi sementara itu anda tetap mencintainya. Jadi, senang itu bergantung pada keadaan. Seperti halnya, anda disakiti oleh pasangan anda dan anda benci. Tapi sejujurnya yang anda benci bukan pasangan anda tapi tingkah lakunya. 

Benci itu bukan lawan dari cinta. Karena benci itu cinta yang merasakan sakit tapi yang merasakan sakit tetap cinta namanya. Jadi, cinta itu kental, utuh, abadi. Seperti rasa bahagia itu sendiri. 

Jadi, kekayaan, kemiskinan status sosial dan pangkat bukan menentukan kebahagiaan seseorang. Yang menentukan kebahagiaan seseorang ialah bagaimana sikap mental dan sikap batin manusia terhadap kekayaan dan kemiskinan."

Dan...
Terjawab sudah pertanyaan yang mengganggu kepala saya selama ini. Bahagia tergantung dari mana kita bersikap. Seperti halnya nabi Muhammad. Beliau hanya tinggal di rumah tak lebih dari ukuran 2x3 m dan tergolong hidup yang miskin jika diukur dari masa sekarang. Tapi seperti yang kita ketahui, beliau selalu bahagia dalam kesederhanaan. 

You Might Also Like

1 komentar:

  1. Toko Mesin Murah · Jual Mesin · Susu Listrik · Portal Belanja Mesin Makanan, Pertanian, Peternakan & UKM · CP 0852-576-888-55 / 0856-0828-5927

    BalasHapus